Sistem nilai
budaya sebuah masyarakat akan sangat mempengaruhi atau bahkan menentukan
perilaku ekonomi dari warga masyarakat yang bersangkutan. Bahkan kebu dayaan
dalam arti yang luas juga mencakup pranata ekonomi, yang mengatur perilaku
masyarakat di bidang ekonomi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kalangan
ahli di bidang sosiologi dan antropologi banyak yang menonjolkan sistem nilai
budaya di dalam masyarakat sebagai dimensi yang lebih penting (kadang-kadang
dominan) dalam mempengaruhi perilaku ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian
perilaku ekonomi suatu masyarakat akan berbeda dari perilaku ekonomi masyarakat
yang lain. Hal ini tidak lain disebabkan oleh perbedaan dalam sistem nilai
budaya antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain.
Gambaran di
atas akan berimplikasi pada kenyataan bahwa untuk menggerakkan roda perputaran
ekonomi dari satu masyarakat harus terlebih dahulu dipahami faktor-faktor yang
bersumber dari kondisi nilai-nilai budaya yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan. Dalam hal ini faktor kekuatan yang paling penting untuk
menggerakkan masyarakat di negara berkembang (termasuk Indonesia) dari stagnasi
dan krisis ekonomi ke arah proses pembangunan, ialah perubahan pada tata
budayanya.
Perubahan
ekonomi yang dipaksakan tanpa terlebih dahulu atau setidak-tidaknya bersamaan
dengan upaya proses perubahan sistem nilai budaya akan memperoleh hasil yang
kurang optimal kalau bukan mengalami kegagalan. Jika pembangunan selama ini
hanya menyentuh faktor-faktor fisik tanpa ditekankan pada persoalan nilai
budaya masyarakat, maka pembangunan semacam ini akan rentan terhadap konjungtur
dan krisis ekonomi global. Model pembangunan yang demikian akan memiliki sifat
yang tidak memiliki sustainability (keberlanjutan).
Sekali
terhempas oleh badai krisis, maka sulit sekali bangkit dari keterpurukan. Hal
itu telah dialami oleh Indonesia sejak akhir dasawarsa 1990-an. Dengan demikian
diperlukan pola pendekatan yang tepat untuk mencocokkan antara kebijakan
pembanguan ekonomi dan rekayasa perubahan nilai-nilai budaya dalam masyarakat.
Dalam hal ini pendekatan yang perlu dikembangkan seyogianya berintikan pada
pemikiran bahwa kemajuan ekonomi dan pembangunan ekonomi dijadikan fungsi dari
(tergantung diri) perubahan pada bidang sistem nilai budaya dalam kehidupan
masyarakat. Kajian antropologi ekonomi menyatakan bahwa ada konteks kultural
yang mewarnai, bahkan melandasi kegiatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian
nilai-nilai budaya akan memberikan andil yang signifikan dalam menentukan
perilaku ekomnomi masyarakat.
Dalam
konteks ini, untuk membuat perencanaan pembangunan ekonomi harus dipahami
terlebih dahulu struktur internal masyarakat yang bersangkutan. Hal ini
didasari oleh asumsi bahwa sebab utama perubahan dan perkembangan masyarakat
terdapat di dalam faktor-faktor yang melekat pada tata susunan masyarakat dan
dalam tubuh masyarakat itu sendiri, bukan terutama pada sejumlah faktor
eksternal. Jika dan bilamana memang terjadi perubahan pada nilai-nilai budaya
dan perilaku warga masyarakat sendiri, baru setelah itu bisa terjadi
perkembangan ekonomi yang ditandai oleh akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Dengan demikian ada kaitan antara perubahan perilaku warga masyarakat,
akumulasi modal, dan perkembangan pasar barang dan jasa.
Namun
demikian dalam keterkaitan itu perubahan budaya dianggap sebagai faktor
dinamika yang doain dan yang mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat
secara menyeluruh. Dalam konteks itu fenomena kemerosotan kinerja industri
kerajinan ukir Jepara harus dicari benang merahnya dengan perubahan nilai-nilai
budaya pada masyarakat Jepara itu sendiri. Memang betul bahwa kemunduran
industri kerajinan ukir Jepara disebabkan oleh menurunnya demand dari
negara-negara pengimpor produk ukir dan meubel Jepara, namun penurunan demand
itu salah satunya disebabkan oleh penurunan kualitas produk industri kerajinan
ukir Jepara itu sendiri. Padahal industri kerajinan ukir Jepara merupakan
sektor industri yang sudah teruji mampu menghadapi krisis moneter sejak
dasawarsa 1990-an.
Dalam cara
berpikiryang bersifat cultural-oriented seperti itu, industri kerajinan ukir
yang merupakan bagian dari kegiatan handycraft harus dilihat bukan hanya
sebagai aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi para pengrajin
saja, tetapi lebih dari itu, sesungguhnya kegiatan industri kerajinan ukir
sudah merupakan sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian
besar masyarakat Jepara. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor ini harus
menempatkan subjek pelaku industri kerajinan ukir sebagai aktor ini secara
utuh, bukan saja pengrajin dan pengusaha industri kerajianan ukir sebagai homo
economics, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi
pandangan ini adalah dikaitkannya unsr-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang
memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam
kerangka sistem industri kerajinan ukir itu sendiri.
Sebagaimana
dijelaskan di depan bahwa sesungguhnya usaha industri kerajinan ukir ini sudah
memiliki akar historis yang panjang dalam masyarakat Jepara. Oleh karena itu
dunia meubel dan ukir amatlah sulit dipisahkan dari kehidupan budaya masyarakat
Jepara. Karena sudah berabad-abad tahun lamanya mesyarakat Jepara sudah
menciptakan produk bermacam-macam ukiran untuk kepentingan ekonomi mereka.
Sebelum lesunya industri kerajinan ukir, masyarakat Jepara masih merasa bahwa
bidang ini merupakan bagian dari hidup dan mati mereka. Dan hal ini telah
mereka rasakan selama turun-temurun.
Keterampilan
mengukir sudah ditelurkan melalui pewarisan nenek moyang mereka dari generasi
ke generasi lewat saluran sosialisasi dan internalisasi budaya. Oleh karena
itu, ketika mereka menghadapi kenyataan industri kerajinan ukir mereka runtuh
secara ekonomi, mereka terkejut seolah-olah tidak percaya bahwa sesuatu telah
terjadi dan menyebabkan bagian dari kebanggaan mereka mengalami kemerosotan.
Dalam
situasi psikologis semacam itulah mereka tidak menyadari bahwa kemerosotan
harga diri dari industri kerajinan ukir mereka sebetulnya bersumber dari
dekadensi nilai budaya sebagai sebab akibat dari pengaruh berbagai nilai budaya
yang tidak dapat terserap secara sempurna. Hal ini sesuai apa yang diungkapkan
oleh kebanyakan warga asing, yang menyatakan bahwa cara bereaksi para pelaku bisnis
dalam industri kerajinan ukir Jepara sangat lamban, sehingga terlambat dan
tidak bisa lagi menyelamatkan dunia usaha mereka. Menurut pengusaha asing yang
bernama Vincent, bahwa pengusaha Jepara sebetulnya masih tetap bertahan namun
tidak memberikan respon yang bersifat inovatif. Berbeda dengan pengusaha asing
yang selalu melakukan inovasi terbaru, karena pengusaha asing terus melayani
model terbaru, supaya para pelanggan senang.
Maka hal di
atas menunjukkan bahwa sikap kurang responsif terhadap tuntunan pasar bukan
hanya ditunjukkan oleh para pelaku industri kerajinan ukir Jepara (pengrajin
dan pengusaha), tetapi juga Pemerintah Kabupaten Jepara yang mestinya memiliki
kewajiban untuk memberikan fasilitas kepada para pengusaha khususnya pengusaha asing.
Pemerintah
Jepara harus melihat kembali bagaimana seharusnya bersikap manghadapi perubahan
ekonomi dan krisis global. Dengan demikian sikap yang responsif terhadap
perubahan bisa ditanamkan dalam setiap pelaku indus tri kerajinan ukir di
Jepara.
Di lain
pihak, satu hal yang menarik adalah bahwa tingkat penerimaan terhadap kehadiran
pengusaha asing di Jepara cukup tinggi. Kesan ini terutama jika dilihat dari
kacamata pemerintah dan tokoh-tokoh yang ikut ambil bagian dalam kerja sama
dengan pihak pengusaha asing. Tampaknya kehadiran budaya asing yang dibawa oleh
pengusaha asing sudah merupakan sebuah keharusan yang berakar dari sejarah.
Adalah hal
yang wajar, jika interaksi heteroculture itu menghasilkan budaya baru. Bagi
orang Jepara dengan adanya itu tidak kaget. Karena mungkin interaksi orang
Jepara dengan orang asing itu adalah suatu sejarah. Termasuk adanya kuil atau
kelenteng di Welahan itu juga tidak lepas dari hasil sejarah. Bahwa kalau
ditarik ke zaman sekarang kelenturan-kelenturan budaya yang dimiliki Jepara
sangat bagus.
Demikian
juga dampak negatif dari pengaruh kehadiran orang asing juga sudah disadari
oleh masyarakat Jepara sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Proses itu
adalah bagian dari sejarah juga, sebab tanpa kehadiran mereka pun pengaruh
buruk dan baik itu selalu berlaga di bumi Jepara. Dengan demikian persoalannya
adalah bagaimana masyarakat Jepara menanggulangi dengan caranya sendiri dengan
menggunakan potensi sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang ada.
Meskipun
demikian juga ada kecemburuan yang didasari atas pemikiran bahwa para pengusaha
asing membeli produk pribumi secara murah, namun menjual di luar negeri dengan
harga yang tinggi. Barangkali hal ini merupakan barang ungkapan dari pihak yang
memang secara ekonomi menjadi termarginalkan dari proses globalisasi. Dalam globalisasi,
kelompok-kelompok yang memiliki akses yang dekat dengan pasarlah yang akan
memperoleh keuntungan yang lebih besar. Sementara itu kelompok produsen yang
jauh dari akses pasar global akan menjadi barang permainan bagi kelompok yang
disebutkan terdahulu. Dalam hal ini kelompok eksportirlah yang sesungguhnya
menikmati keuntungan yang lebih besar dari pada para pengrajin dan pengusaha.
Padahal mungkin mereka bekerja membanting tulang lebih berat. Akan tetapi
sebaliknya para eksportir dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan
oleh para pengrajin dan pengusaha ukir dan meubel. Para eksportir memiliki
modal yang besar dan jaringan yang luas serta akses kepada pasar global yang
sulit sekali untuk ditembus.
Dari
perspektif nilai-nilai budaya kelesuan industri kerajinan ukir Jepara harus
ditempatkan pada konteks bagaimana masyarakat pelaku industri kerajinan ukir
itu merespon budaya baru yang memiliki akses global. Dari sisi ekonomi
barangkali persoalannya bukan hanya masalah kemunculan kawin kontrak, kafe,
resort, minuman keras, dan sejenisnya yang dengan mudah di ikuti oleh
masyarakat lokal, tetapi sesungguhnya yang lebih penting dari itu adalah
bagaimana secara kultural masyarakat belajar dari orang asing dalam hal
mengakses pasar secara global, sehingga pada akhirnya mereka mampu bersaing
dengan mereka atau setidak-tidaknya mampu bekerja sama secara seimbang dengan
mereka. Dalam hal ini uluran tangan pemerintah sangat penting bukan hanya
sebagai penarik pajak dan retribusi, tetapi membe-rikan fasilitas baik fisik
maupun non fisik termasuk finansial dan regulasi yang menguntungkan.
Selamat Hari Santri 2021 - Santri Siaga Jiwa dan Raga
0 Comments